RELEVANSI PELIBATAN STAKEHOLDERS DAN MULTISEKTOR DALAM PERCEPATAN PENANGGULANGAN TBC
Tuberculosis atau TBC adalah penyakit yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. WHO memperkirakan sekitar 10.6 juta TBC di dunia. Indonesia saat ini (2022) menduduki peringkat kedua negara dengan kasus TBC terbesar di dunia setelah India.
Syarhan
7/3/20242 min baca


Jumlah estimasi kasus baru TBC hampir satu juta kasus (969.000 kasus) atau dari 100.000 penduduk di Indonesia terdapat 354 kasus TBC. TBC mengakibatkan 144 ribu kematian atau setara dengan 52 kematian per 100.000 penduduk. Bila dihitung per jam maka kematian akibat TBC sebanyak 16 kematian/jam, lebih tinggi dua kali lipat dari kematian akibat COVID-19 di Indonesia.
TBC mengenai semua kelompok usia dari anak-anak sampai lansia, namun sebagian besar mengenai usia produktif (15-64 tahun) yaitu sebesar 73,8%. Produktivitas orang dengan TBC menurun, akibatnya kesejahteraan keluarga akan terganggu. Hasil studi menunjukkan bahwa 36% orang yang mengalami TBC akan kehilangan produktivitas. Dampak ekonomi TBC setara dengan hilangnya waktu produktif 3-4 bulan atau setara dengan 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun. TBC terkonsentrasi di populasi miskin yang menjadi faktor penyebab dan sekaligus juga sebagai faktor akibat. TBC dapat menjadi penyumbang masalah serta bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia.
Kompleksitas penyakit TBC tersebut tentunya memerlukan penanggulangan yang komprehensif, masif dan terstruktur serta melibatkan multisektor dan komponen masyarakat terkait karena TBC adalah urusan bersama, bukan hanya urusan sektor kesehatan saja. Strategi utama untuk percepatan eliminasi TBC yang perlu kita dorong bersama adalah menemukan kasus TBC sebanyak-banyaknya, memastikan yang sudah terdiagnosis TBC mau menjalani pengobatannya sampai tuntas dan yang tidak kalah pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mau memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan ketika memiliki gejala terduga TBC. Penemuan kasus TBC ini perlu melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Upaya skrining massal berbasis komunitas (surveilan berbasis masyarakat atau disingkat SBM), skrining di institusi Pendidikan, institusi kerja dan skrining berbasis fasilitas layanan kesehatan, kesemuanya perlu dilakukan secara masif dan terpadu.
Selain meningkatkan penemuan kasus TBC dan memastikan pengobatannya sampai tuntas, perlu dioptimalkannya upaya pencegahan untuk membendung penularan penyakit TBC di Indonesia. Oleh karena itu investigasi kontak dan pemberian terapi pencegahan pada kontak erat perlu ditingkatkan capaiannya. Sampai saat ini capaian investigasi kontak erat dan Terapi Pencegahan TBC (TPT) masih rendah yaitu investigasi kontak 15% (target 90%) dan pemberian TPT 1,3% (target 48%) pada tahun 2022. Perlu dilakukan edukasi massif ke masyarakat agar memahami upaya pencegahan ini.
Permasalahan TBC tidak hanya sekedar menanggulangi kesakitan, namun diperlukan pula penanganan masalah sosial dan ekonomi yang ditimbulkan, yang menyebabkan penanggulangannya lebih sulit dan membutuhkan pelibatan lintas program dan lintas sektor yang massif seperti yang kita lakukan pada penanggulangan COVID-19. Untuk itu Presiden mencanangkan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC, yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah dan memberi peran kepada komunitas, pemangku kepentingan dan multisektor untuk penanggulangan TBC dalam mencapai target eliminasi TBC tahun 2030 di Indonesia.
Sumber: Pedoman Kemitraan Percepatan Penanggulangan TBC 2024

